Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional Hingga Bisa Mendirikan Yogyakarta

Informasi

Informasi dan Tips-tips

Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional Hingga Bisa Mendirikan Yogyakarta

Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional Hingga Bisa Mendirikan Yogyakarta

Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono I Sebagai Pahlawan Nasional Hingga Bisa Mendirikan Yogyakarta

Sri Sultan Hamengkubuwono I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus Raja pertama Kesultanan di Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1755 – 1792.
Nama aslinya ialah Raden Mas Sujana, setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau merupakan putra Amangkurat IV Raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada awalnya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) sangat mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran untuk tidak mendukung pemberontakan tersebut.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu oleh kaum pemberontak . Dan Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV yang berasal dari Madura .

Sisa-sisa dari pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah bagi siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalangi oleh Patih Pringgalaya yang menghasut Raja agar membatalkan perjanjian sayembara tersebut.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh keadaan. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk dapat melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang oleh Mangkubumi, yang berakibat terjadi pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi.
Mangkubumi yang sakit hati akhirnya meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan mulai menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak. Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengkubuwana I
Hamengku Buwana I secara geneologis merupakan keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah diketahui, namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V salah seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang mempunyai seorang anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri pada Sultan Hadiwijaya dan ia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda, dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya memiliki anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Mendirikan Yogyakarta
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah. Pakubuwana III tetap menjadi Raja di Surakarta dan Mangkubumi dengan gelarnya sebagai Sultan Hamengkubuwana I menjadi Raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi seorang Raja,tetapi tempat tinggal kerjaan untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk dapat mendirikan Keraton atau Istana, Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa namun VOC saat itu belum memiliki apa yang diminta oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I mulai memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi salah satu bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat sedang mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh sebab itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau singkatnya Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju ke Yogyakarta. Seiring dengan berjalannya waktu, nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi sangat populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I ini kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Sebagai Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana I meninggal dunia pada tanggal 24 Maret 1792. Dan kedudukannya sebagai Raja Yogyakarta digantikan oleh putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai Raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru, namun kebesarannya saat itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa saat itu.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang Raja yang bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang yang mencintai keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari ini di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis pada saat itu.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba untuk memperlambat keinginan Belanda mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras untuk menghalangi pihak VOC yang ingin ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi merupakan perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 – 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian ia diwariskan kepada Hamengkubuwana II. Maka tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa yang melanda wilayah Yogyakarta.

Sumber Artikel : id.wikipedia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *